Stabat – Aktivis pecinta lingkungan hidup mengecam segala bentuk aktifitas galian C yang meresahkan masyarakat. Seperti halnya yang terjadi di Kecamatan Sawit Seberang dan Batang Serangan, Kabupaten Langkat. Warga di sana menyebutkan, tiga rumah raib terkena abrasi. Mereka resah dengan kegiatan penambangan yang terkesan tak memperhatikan lingkungan sekitar.

Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumiati Surbakti SE menegaskan, setiap aktifitas pertambangan selalu berdampak dengan rusaknya lingkungan. Mulai dari banjir, abrasi di aliran sungai dan lainnya. “Jika sudah sangat meresahkan, sebaiknya dicabut izinnya. Itupun kalau punya izin,” tegas wanita pegiat lingkungan itu, Rabu (27/4) pagi.

Harusnya, kata wanita berkacamata itu, pemerintah daerah jangan tutup mata dengan persoalan tersebut. Meskipun kadang para penambang berdalih, kerusakan lingkungan itu karena faktor alam. “Jangan jadikan fenomena alam untuk menutupi kerusakan yang mereka perbuat,” sambungnya.

“Kalau sudah terjadi seperti itu dan jalan kompromi tak lagi bisa ditempuh, baiknya masyarakat bergerak bersama untuk membasmi perusak lingkungan. Jangan pernah mau menjadi korban kesewenang wenangan pengusaha. Rebut kembali wilayah kelola warga, sebelum bencana yang lebih besar datang,” tandas Mimi kesal.

Diketahui, tiga rumah warga di Dusun VI Desa Sei Litur Tasik, Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat terbawa longsor karena tergerus arus Sungai Batang Serangan. Beberapa hektar lahan perkebunan warga juga terkikis abrasi. Warga menyebut, tingginya aktifitas galian C adalah pemicu kerusakan alam di sana.

Hal itu disampaikan Sriatun (49) kepada awak media di kediaman orang tuanya, di Sei Litur Tasik, Jum’at (15/4) siang. Dia menyebutkan, awalnya rumah Yusni (50) dan rumah Mala (40) yang longsor tergerus abrasi. Belakangan, sekira akhir Februari 2022 kemarin, giliran rumahnya yang ambruk terbawa longsor. “Jam 02.00 WIB pagi rumahku ambruk,” kenangnya dengan mata berkaca – kaca.

Tak banyak yang bisa dibuat keluara Sariatun. Mereka hanya bisa meminta bantuan kepada pemerintah setempat dan pengelola usaha galian C di sana. Hasilnya tak seperti yang dibayangkan, rumah yang hilang hingga kini belum tergantikan. Dia dan warga lainnya terkendala biaya untuk membangun kembali rumahnya.

“Dulu sebelum ada galian C, kondisi lingkungan di sini tak begitu parah. Saat ada penambangan material di Sungai Batang Serangan, berangsur – angsur lahan kebun dan tapak rumah warga habis tergerus arus sungai,” kata ibu dari tiga anak itu.

Sriatun dan dua korban longsor lainnya berharap, agar pemerintah dan pengusaha galian C memperhatikan nasib mereka. Lebih baik seluruh aktifitas galian C di sana agar segera ditutup. Daripada kehadirannya justru merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar. Di sana ada dua lokasi tambang, yakni milik pengusahan bernama Hasan dan KSU yang berkantor di Tanjung Moerawa Deli Serdang.

Terpisah, seorang warga yang megaku bernama Miko juga mengalami dampak buruk dari aktifitas penambangan di sana. Pria paruh baya itu sudah kehilangan sebahagian lahan perkebunan sawit miliknya. “Liatlah, sungainya semakin lebar. Lahan kami habis tergerus. Efek galian C di sini sudah sangat merugikan masyarakat,” ketus Miko.

Pantauan di lapangan, kondisi Sungai Batang Serangan kian memprihatinkan. Beberapa alat berat terlihat masuk ke aliran sungai untuk menggali material. Tanaman sawit milik warga juga banyak yang tumbang ke dalam sungai. Warga berharap, agar ada perhatian serius dari pemerintah dan aparat penegak hukum terkait kerusakan lingkungan tersebut.

Hingga berita ini diterbitkan, baik Hasan selaku pengelola galian C dan Rudi yang disebut – sebut sebagai perwakilan dari KSU enggan berkomentar. Pengusaha tersebut belum membalas pesan WhattsApp yang dikirimkan, meskipun sudah dibacanya. Mereka seakan acuh dengan kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat yang sudah terjadi di sana. (Yong/Ahmad)