JELAJAHPERKARA.COM || JAKARTA- Dianus Pionam alias Awi kini duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto. Ia menjalani persidangan kasus peredaran obat ilegal yang diungkap Bareskrim Polri.
Awi ditangkap dari pengembangan kasus obat aborsi yang digunakan NM (25) asal Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto untuk menggugurkan kandungan, pada Senin (8/3/21).
Awi penjual obat di Mojokerto yang meraup uang lebih dari setengah triliun rupiah (Rp531 miliar) dari menjual obat-obatan ilegal terungkap.
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Kabupaten Mojokerto, Ivan Yoko Wibowo saat dikonfirmasi membenarkan perkara hukum dengan terdakwa DP (Dianus Pionam) masih dalam proses persidangan.
“Perkara atas nama terdakwa Dianus Pionam masih proses persidangan dalam tahap keterangan ahli di PN (Pengadilan Negeri Kabupaten Mojokerto),” ungkapnya, Jumat (17/9/21).
Ivan mengatakan, berdasarkan berkas perkara obat-obat psikotek tersebut, diperoleh terdakwa dari temannya yang tidak dijelaskan berasal dari dalam maupun atau luar Negeri.
“Dia hanya menyediakan psikotek kalau didapat dari luar Negeri atau dari mana tidak disebutkan karena tahapan persidangan masih belum mengarah pada keterangan terdakwa,” jelasnya seperti dikutip dari beritakarya.com , Senin (27/9/21).
>>> Siapa Awi sebenarnya?
Dikutip dari data terdakwa, Dianus Pionam lahir di Singkawang pada tanggal 8 September 1966. Meski menjalankan usaha penjualan obat di Mojokerto, ternyata Awi adalah warga Jakarta. Sesuai kartu identitasnya, dia tercatat sebagai warga Pantai Mutiara Blok AD, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta.
“Jadi terdakwa (Dianus Pionam) bukan warga sini, tidak ada tempat tinggal di Mojokerto namun statusnya memang tahanan kota Pengadilan Negeri dan selama ini tidak boleh keluar dari Mojokerto serta wajib lapor dua hari sekali,” beber Kasi Pidum Kejari Kabupaten Mojokerto, Ivan Yoko Wibowo.
Kasus pidana yang menjerat Awi diserahkan ke Kejari Kabupaten Mojokerto pada 11 Maret 2021. Terdakwa menyerahkan diri di Mapolres Mojokerto pada Jumat (12/3/21) sekitar pukul 01.00 WIB. Kemudian, pihak Kejari Kabupaten Mojokerto menahan Awi pada 16 Juni 2021.
Atas perbuatannya, Awi didakwa Pasal 106 Undang-undang kesehatan atau Pasal 197 UU kesehatan. Hasil barang bukti dari terdakwa, yaitu berupa satu Kartu Anjungan Tunai (ATM) Bank BCA dan satu unit Handphone.
“Dalam fakta berkas hasil penyidikan terdakwa terlibat menjual obat Cytotex dengan barang bukti yang diamankan dari terdakwa lain sejumlah 200 strip yang masing-masing berisi 12 butir obat,” ucap Ivan.
>>> Simpan Uang Rp 531 Miliar
Bisnis penjualan obat ilegal yang dijalani Awi ternyata beromzet hingga Rp 531 miliar. Uang itu disebar Awi ke sejumlah rekening tabungan, hingga ditempatkan dalam bentuk deposito, asuransi hingga reksadana.
Sepak terjang Awi atau DP terungkap setelah Mabes Polri bekerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri keuangannya. Kasus ini berawal saat Polres Mojokerto menangkap Awi atau DP dalam kasus peredaran obat ilegal.
Dari penangkapan Awi ini terungkap jika dia telah menjual obat-obatan ilegal itu sejak tahun 2011 hingga 2021. Polisi kemudian mendapati transaksi keuangan mencurigakan yang diduga hasil kejahatan tersangka DP.
Kabareskrim Komjen Agus Andrianto mengungkapkan, DP sebenarnya tidak punya keahlian dalam bidang farmasi.
“Dia tidak memiliki keahlian di bidang farmasi. Dia juga tidak memiliki perusahaan yang bergerak di bidang farmasi. Namun dia menjalankan, mendatangkan obat-obat dari luar tanpa izin edar dari BPOM,” ujar Agus.
Agus membeberkan, Awi atau DP awalnya memesan barang dari luar negeri. Ia membeli obat-obatan dari luar negeri kemudian mengedarkannya di Indonesia tanpa izin edar atau izin jual.
“Tersangka DP (tidak memiliki pekerjaan tetap namun mengaku sebagai pemilik Flora Pharmacy) yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan mengedarkan obat telah melayani pemesanan atau menawarkan obat dari luar negeri kepada pembeli baik perorangan atau apotek atau toko obat baik di Jakarta maupun di kota lainnya menggunakan handphone dan aplikasi whatsapp,” kata Agus.
Setelah itu barang dikirim melalui jasa ekspedisi di Indonesia dengan nama Awi/Flora Pharmacy. Barang itu kemudian diterima di Indonesia tanpa melalui proses regristrasi untuk mendapatkan Izin Edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI).
DP alias Awi kemudian memerintahkan sopir atau kurirnya mengambil obat-obatan dan suplemen ilegal itu di gudang yang telah ditentukan ekspedisi.
Kurir itu kemudian mendistribusikannya ke pembeli obat di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Timur, dan wilayah lainnya. Pembeli kemudian melakukan pembayaran dengan cara transfer ke rekening atas nama tersangka DP sesuai jatuh tempo yang telah disepakati.
DP atau Awi disebut mendapatkan keuntungan sebesar 10 persen hingga 15 persen dari harga barang yang diterimanya secara berkelanjutan sejak 2011 hingga 2021.
“Dibeli dari luar negeri. Kenapa dilarang? karena kalau kita ke luar negeri beli satu gak masalah. Kalau beli dalam jumlah besar dan dijual itu tidak boleh,” jelas Agus.
Setelah menerima uang hasil edar obat ilegal tersebut, DP melakukan penarikan tunai dan kemudian mentransfer sebagian ke rekening miliknya pada bank lain. Sedangkan sebagian lainnya ditempatkan dalam bentuk deposito, asuransi, hingga reksadana.
Adapun obat-obatan tersebut terdiri dari 31 jenis. Salah satunya obat untuk aborsi. Padahal obat ini sudah dilarang penggunaannya di Indonesia.
“Macam-macam dari 2011 sampai 2021 obat-obatan yang dia masukkan yang dia jual itu tercatat ada sekitar 31 kurang lebih ya jenis obat-obatan. Di antara 31 obat-obatan tadi satu jenis obat yang sangat-sangat dilarang. Sudah tidak boleh beredar di Indonesia namanya cytotec, ini obat untuk aborsi,” imbuhnya.
Polri dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) lalu melakukan join investigasi untuk mengungkap aliran uang DP. Hasilnya, dari penelusuran rekening di 9 bank didapat uang sebesar Rp 531 miliar.
“Kita telusuri Rp 531 miliar yang dapat kami sita,” kata Agus.
Selain uang, sejumlah barang bukti juga disita dalam kasus ini, antara lain: sisa obat yang diedarkan berupa Favipiravir/Favimex jumlah 200 tablet, Crestor 20 mg jumlah 6 pak, Crestor 10 mg jumlah 5 pak, hingga Voltaren Gel 50 mg jumlah 4 pak.
Atas perbuatannya, DP disangkakan Pasal 196 Jo Pasal 98 Ayat 2 dan Ayat 3 dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Dan atau Pas 197 Jo Pasal 106 ayat 1 dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan jo pasal 64 KUHP dan pasal 3 dan/atau pasal 4 dan/atau pasal 5 jo pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8.
Sementara Menkopolhukam Mahfud MD yang ikut hadir dalam jumpa pers itu mengatakan, pengungkapan kasus ini hasil kerja sama antara Bareskrim Polri dengan PPATK.
“Bareskrim Polri dan PPATK yang telah sinergi dengan baik dan berkolaborasi dengan melakukan Joint Investigation dan ungkap tipid pencucian uang yang berasal dari tindak pidana obat ilegal dengan hasil sitaan Rp 531 miliar rupiah. Orangnya sudah diamankan,” kata Mahfud yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang itu.
Mahfud menjelaskan, pengungkapan kasus ini bukti dan komitmen Pemerintah dan penegak hukum di Indonesia dalam mengusut kasus pidana pencucian uang.
“Hari ini kami akan mendengar satu informasi tentang perkara selama ini sering menjadi keluhan banyak orang banyak sekali tindakan tipid pencucian uang dirasakan oleh masyarakat tetapi yang ditangkap dan ditangani tak banyak sering kali kita rapat. Kali ini Kabareskrim Polri buktikan bahwa itu bisa dilakukan yang mengagetkan memang ini baru satu orang nilai uangnya besar,” jelas Mahfud MD.
Ia menambahkan, kasus TPPU ini memang telah banyak terjadi di berbagai sektor. Namun, hanya beberapa yang terendus dan ditindak oleh aparat penegak hukum.
“Padahal di Indonesia yang lakukan kaya gini-gini di berbagai tempat laut, hutan, pertambangan dan berbagai sektor itu diduga banyak. Sehingga dengan demikian ini bisa jadi momentum kepada kami semua untuk langkah lebih lanjut dan kompak seperti dilakukan oleh Polri dan PPATK dalam kasus ini,” tukas Mahfud.
(bk/mc)