Rabat — Finlandia berpendapat dan menyetujui bahwa Rencana Otonomi Maroko yang pernah diusulkan tahun 2007 lalu sebagai “dasar yang baik untuk solusi” atas sengketa regional di wilayah Sahara Maroko. Posisi ini diungkapkan dalam Komunike Bersama, yang diterbitkan pada hari Selasa, 06 Agustus 2024, di Helsinki, setelah pembicaraan antara Menteri Luar Negeri, Kerja Sama Afrika, dan Ekspatriat Maroko, Nasser Bourita, dan Menteri Luar Negeri Finlandia, Elina Valtonen.

“Finlandia menganggap rencana otonomi yang diajukan pada tahun 2007 sebagai kontribusi yang serius dan kredibel bagi proses politik yang dipimpin PBB dan sebagai dasar yang baik untuk solusi yang disepakati antara para pihak,” demikian menurut komunike tersebut, yang menegaskan kembali dukungan Finlandia terhadap proses politik yang bertujuan untuk mencapai solusi politik yang adil, langgeng, dan dapat diterima bersama.

Dalam komunike ini, kedua menteri juga menyampaikan posisi bersama mereka mengenai peran eksklusif Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam proses politik, dengan menegaskan kembali dukungan mereka terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB dan dukungan negara masing-masing terhadap upaya Utusan Pribadi Sekretaris Jenderal PBB, yang bertujuan untuk memajukan proses ini.

Posisi baru Finlandia merupakan bagian dari momentum dukungan internasional bagi kedaulatan Maroko atas Sahara dan Rencana Otonomi, di bawah kedaulatan Maroko, yang didukung oleh banyak negara, di bawah kepemimpinan Raja Maroko, HM King Mohammed VI, dalam beberapa tahun terakhir.

Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron sebelumnya telah menyuarakan hal yang sama dengan menekankan bahwa “bagi Prancis, otonomi di bawah kedaulatan Maroko adalah kerangka kerja yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah ini”. Macron bahkan menekankan bahwa posisi Prancis terhadap rencana otonomi yang diusulkan Maroko pada tahun 2007 jelas dan tidak tergoyahkan,” seraya menambahkan bahwa rencana ini “sekarang menjadi satu-satunya dasar untuk mencapai solusi politik yang adil, langgeng, dan dinegosiasikan, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.” (PERSISMA/Red)