๐Ÿ‘๏ธ Dilihat: 263.691 kali

 

 

 

Jakarta โ€” Awan gelap tengah menggantung di atas Istana. Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bukan lagi sekadar desas-desus politik, tetapi kini menjadi gema nasional yang menuntut pembenahan moral dan konstitusi negara.

Sumber di lingkaran parlemen menyebut, langkah awal telah dilakukan melalui dorongan Forum Purnawirawan Prajurit (FPP) TNI yang menyerahkan delapan tuntutan besar, salah satunya: Makzulkan Gibran. Desakan itu bukan tanpa dasar โ€” publik menilai Gibran adalah produk dari pelanggaran konstitusi yang dimulai dari Putusan MK Nomor 90/2024, yang kala itu dianggap sebagai โ€œjalan tikus hukumโ€ untuk meloloskan pencalonan dirinya.

Pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemakzulan Gibran hanya sah bila dilakukan bersama Prabowo justru memantik reaksi keras. Banyak yang menilai pernyataan itu bukan pembelaan hukum, melainkan bentuk tekanan politik dan kepanikan seorang ayah yang kini terpojok oleh hukum yang diciptakannya sendiri.

Konstitusi tidak mengenal istilah โ€œsatu paketโ€. Presiden bisa dimakzulkan tanpa Wapres, begitu pula sebaliknya. Jika pelanggaran dilakukan oleh Gibran, maka tanggung jawab hukum hanya pada Gibran โ€” bukan kepada Prabowo.

Namun di balik layar, dinamika politik tampak lebih rumit. Sejumlah pihak meyakini, masih kuatnya cengkeraman oligarki lama โ€” yang disebut sebagai โ€œGeng Soloโ€ โ€” membuat Prabowo seolah terbelenggu. Bahkan, beberapa keputusan kabinet disebut masih berada di bawah bayang intervensi Jokowi.

Situasi ini menimbulkan dilema besar bagi Presiden Prabowo: apakah akan tunduk pada tekanan politik warisan Jokowi, atau memilih berpihak pada konstitusi dan kehendak rakyat.

Desakan publik terhadap DPR untuk membentuk Panitia Angket Pemakzulan terus menguat. Petisi-petisi dukungan beredar luas di berbagai daerah, sementara forum-forum akademik mulai membahas aspek konstitusional proses tersebut.

Isu pemakzulan Gibran kini bukan lagi sekadar perdebatan moral. Ia telah menjelma menjadi pertarungan antara masa lalu dan masa depan: antara oligarki yang ingin tetap berkuasa dan harapan rakyat atas pemerintahan yang bersih.

Satu hal yang pasti โ€” bola sudah bergulir. Dan jika sejarah politik Indonesia tak segera mengambil jalannya sendiri, publik tampaknya benar-benar hanya tinggal menghitung hari menuju babak baru di Istana Negara.