๐Ÿ‘๏ธ Dilihat: 199.281 kali

 

 

 

Lampung Tengah โ€” Di banyak kampung dan pelosok negeri, kemeriahan hajatan sering kali dijadikan ukuran kehormatan dan harga diri. Tapi di balik tenda megah, hiburan malam, dan pesta makanan berlimpah, tersimpan kenyataan getir: banyak keluarga miskin yang terpaksa berhutang demi gengsi.

Fenomena ini kembali menjadi sorotan setelah beredarnya video edukatif di YouTube yang membahas kebiasaan masyarakat menengah ke bawah yang memaksakan hajatan besar, padahal kondisi ekonomi sangat terbatas.
Hanya karena takut dicap โ€œtidak mampuโ€ atau โ€œtidak layak,โ€ mereka rela menanggung beban hutang yang tak sebanding dengan penghasilan.

โ€œHidup di Balik Panggung Gengsiโ€

Banyak warga yang mengaku merasa tertekan oleh pandangan sosial di sekitarnya.

โ€œKalau hajatan kecil nanti dibilang pelit, dibilang nggak mampu. Jadi mau nggak mau harus kelihatan meriah,โ€ ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya.

Namun setelah pesta usai, mereka harus menghadapi kenyataan pahit: tagihan pinjaman, utang ke tetangga, dan beban bunga yang terus menumpuk.
Alih-alih bahagia, keluarga justru jatuh ke dalam lingkaran kemiskinan baru yang lebih dalam.

“Pandangan Pakar dan Tokoh Masyarakat”

Menurut Andar M. Situmorang, S.H., M.H., pemerhati sosial hukum, fenomena ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah budaya dan mentalitas.

โ€œKita ini hidup di tengah budaya gengsi yang tidak sehat. Banyak orang lebih takut dicemooh daripada takut miskin. Padahal, kemiskinan itu bisa diatasi dengan kerja keras dan perencanaan, tapi gengsi bisa menghancurkan logika,โ€ ujarnya.

Sementara itu, Dwi Hartoyo, inisiator Gerakan Peduli Trimurjo, menilai perlu adanya perubahan cara pandang masyarakat terhadap makna kebahagiaan dan kehormatan.

โ€œHidup sederhana bukan berarti kalah. Justru dari kesederhanaan, kita bisa menumbuhkan rasa syukur, saling bantu, dan tidak membebani diri dengan hutang,โ€ tegasnya.
Ia menambahkan, Gerakan Peduli Trimurjo mendorong warga untuk menyelenggarakan hajatan sederhana tapi bermakna, dengan semangat gotong royong tanpa kemewahan yang berlebihan.

“Edukasi dan Perubahan Sosial”

Melalui pendekatan edukatif dan penyuluhan langsung, Gerakan Peduli Trimurjo mengajak masyarakat agar:

  • Tidak memaksakan diri untuk tampil mewah demi pandangan orang lain.
  • Menghindari utang konsumtif yang bisa menghancurkan ekonomi keluarga.
  • Menumbuhkan kembali semangat gotong royong, di mana kebahagiaan diukur dari kebersamaan, bukan kemewahan.
  • Mengalihkan dana berlebih untuk hal yang lebih bermanfaat, seperti pendidikan anak atau bantuan sosial bagi warga kurang mampu.

“Penutup”

Hidup bukan perlombaan pamer, melainkan perjuangan untuk bertahan dengan bermartabat.
Hajatan semestinya menjadi simbol rasa syukur, bukan ajang pertaruhan gengsi.
Karena sesungguhnya, kemewahan sejati bukan dari pesta yang megah, tetapi dari hati yang tenang dan keluarga yang tak terbebani utang.