SEMARANG- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan proses hukum yang menempatkan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) didakwa dengan ancaman penjara 1 tahun di Pengadilan Negeri Karawang karena dituduh melakukan kekerasan psikis terhadap mantan suaminya.

Kondisi ini merupakan cermin ketidakmampuan Aparat Penegak Hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, dalam memahami relasi kuasa dalam kasus-kasus KDRT.

Karenanya, Komnas Perempuan berharap kondisi ini dapat dikoreksi dengan mendorong Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Karawang untuk mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam pemeriksaan kasus tersebut.

Komnas Perempuan merekomendasikan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat bersama dengan Kepolisian Daerah Jawa Barat melakukan gelar perkara pada Laporan Polisi No. LPB/844/VII/2020/JABAR, yang mendudukan korban sebagai tersangka.

Komnas Perempuan berpendapat bahwa Korban V tidak boleh diposisikan sebagai terlapor tindak pidana KDRT berdasarkan fakta serangkaian kekerasan yang dialami oleh korban dalam relasi perkawinannya dengan pelaku.

Komnas Perempuan juga menyarankan diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas laporan CYC terhadap V.

SP3 juga merupakan upaya mencegah hukum digunakan sebagai impunitas terhadap pelaku dan menegaskan perlindungan hukum bagi korban KDRT yang sesungguhnya yakni V dan kedua anaknya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, atas kasus kriminalisasi V, Komnas Perempuan merekomendasikan sebagai berikut :

1. Ketua Pengadilan Negeri Karawang c.q. Majelis Hakim yang Memeriksa Perkara PBH V untuk mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, menggunakan putusan cerai No. 71/Pdt.G/2019/PN Kwg jo. No. 250/PDT/2020/PT BDG. yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pertimbangan untuk melihat secara utuh kondisi perkawinan keduanya dan relasi kuasa diantara terlapor dan pelapor dan memutus bebas sebagai presenden untuk menghentikan tindak kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT;

2. Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan panduan penanganan kasus KDRT dimana kedua belah pihak saling melaporkan dengan sangkaan pelanggaran UU PKDRT untuk satu peristiwa yang sama;

3. Kepolisian Resort Karawang melanjutkan proses hukum atas laporan V dengan nomor Laporan Polisi No. LP/B.92/II/2020/Jbr/Res Krw/Sek Krw tentang tindak pidana pemalsuan tanda tangan dan Laporan Polisi No. LPB/844/VII/2020/JABAR dengan dugaan tindak pidana KDRT dan penelantaran anak yang dilaporkan oleh V;

4. Pihak Kejaksaan Agung untuk mengoptimalkan pengawasan dalam menggunakan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana;

5. Komisi Yudisial untuk memantau persidangan kasus V untuk memastikan pelaksanaan PERMA 3 Tahun 2017 demi tegaknya keadilan;

6. Komisi Kepolisian dan Komisi Yudisial memeriksa ulang penanganan kasus V sebagai langkah koreksi berulangnya kejadian kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan, khususnya korban KDRT;

7. Media massa dan masyarakat memberikan dukungan terhadap upaya V dalam memutus rantai kekerasan dan untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.

(Romauli)