SURABAYA- Pasal 4 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers ( UU Pers ) mengamanatkan, “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.” Dan pasal 4 ayat (3), “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”

Sedangkan pasal 18 ayat (1) mengamanatkani, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dalam persidangan yang dilaksanakan di Ruang Sidang Cakra Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu 12/1/2021, Majelis Hakim memutus dua terdakwa Polisi pempersekusi jurnalis Nurhadi, Bripka Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi dihukum 10 bulan penjara dan membayar sejumlah uang. Keduanya diputus bersalah melanggar pasal 18 ayat (1) UU Pers.

Bripka Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi didakwa menyekap dan menganiaya Nurhadi saat menjalankan kerja jurnalistik di Surabaya. Saat Nurhadi akan meminta konfirmasi mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji yang terlibat kasus suap pajak, Nurhadi dipiting dan dipukuli oleh Purwanto, Firman Subkhi dan kawan-kawan. Vonis hukuman kurungan ini menjadi peringatan/penegasan/pelajaran bagi semua pihak agar tidak sembarangan menghalangi kerja jurnalis.

Ketua umum PJI sangat menyisakan kekecewaan dan mencederai rasa keadilan bagi dunia Pers Nasional. Sebelumnya JPU (Jaksa Penuntut Umum) menuntut hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, namun Majelis Hakim memutus 10 bulan penjara. Tidak sampai 2/3 tuntutan JPU. Itupun tanpa perintah memasukkan terpidana ke dalam tahanan/penjara.

Hartanto Boechori mengistilahkan vonis hukuman seperti itu, “Vonis Banci” atau “setengah-setengah”. Majelis Hakim memutus dua Terdakwa bersalah dan “menghukum, namun faktanya masih memberi kesempatan terpidana untuk “menghirup udara segar” alias bebas, tidak perlu menjalani hukuman penjara. Penilaian saya, Majelis Hakim tidak cukup serius mengadili dan memutus perkara itu, tegas Ketum PJI.

Hartanto Boechori juga mengatakan apapun putusan Majelis memang tidak dapat disalahkan oleh siapapun terkecuali dikoreksi oleh putusan persidangan di atasnya. Sebenarnya saya hanya berharap Majelis Hakim memutus dengan adil. Terlebih terdakwanya 2 oknum Polisi aktif yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat ternasuk jurnalis, malah memperkusi jurnalis yang sedang melaksanakan tugas jurnalistik dengan benar. Tindak pidana penganiayaan dan pengeroyokan dalam perkara inipun juga tidak tersentuh, ucapnya.

Hartanto Boechori mengatakan, dengan diputus bersalah menghalangi kerja jurnalis yang melakukan tugasnya dengan benar, berarti 2 oknum Polisi itu juga melecehkan Kapolri. Kapolri dan Ketua Dewan Pers telah menanda-tangani Nota Kesepahaman yang pada intinya saling menghargai kerja jurnalis dan Polri.

Menjadikan saya lebih miris bila infornasi yang saya dapat benar, 2 tersangka/terdakwa oknum Polisi berstatus tahanan kota. Saya berharap info ini salah, karena bila benar, maka dapat diduga terjadi “Sandiwara Hukum/Keadilan”. Sampai putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), terpidana tidak menjalani hukuman penjara, ujar Ketum PJI

“Untuk upaya maksimal menegakkan keadilan bagi pers Nasional, DPP PJI mengirim surat kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim agar memerintahkan anggotanya melakukan upaya hukum banding atau kasasi secara serius dan JPU bersungguh-sungguh melakukan upaya hukum”, ungkap Ktum PJI.

(Arsoyo)