MEDAN – Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Advokat Sumatera Utara (PB-PASU), Eka Putra Zakran, SH, MH menyatakan kekecewaannya terhadap para bos besar, pemilik (owner) atau pemimpin perusahan media mainstream, khususnya televisi nasional yang tidak lagi peka terhadap isu-isu perubahan.

Menurutnya hal itu ditandai dengan tidak adanya liputan berita terkait aksi unjuk rasa mahasiswa dan/atau aksi protes rakyat terhadap kebijakan pemerintah.

“Sangat disayangkan kondisi pertelevisian nasional saat ini dinilai tidak lagi peka terhadap isu-isu perubahan, termasuk gelombang protes dari rakyat,” ujarnya dikatakan pada Sabtu (9/4/2020) di Medan.

“Kita kecewa lah melihat sikap para bos, pemilik (owner) atau pun pemimpin perusahan media televisi saat ini. Bagimana tidak, sangat jarang kita lihat ada liputan terkait aksi unjuk rasa, bahkan boleh dibilang hampir tidak ada. Padahal di media sosial aksi unjuk rasa mahasiswa banyak bersileweran, tapi entah mengapa kok media televisi malah tidak menyiarkan. Disatu sisi ini aneh, tapi disisi yang lain, inilah saat ini realitasnya,” lanjutnya.

Lebih jauh, mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Medan ini memaparkan banyak persoalan bangsa saat ini, mulai dari persoalan impor beras, sembako mahal, naiknya harga BBM, terjadinya kelangkaan minyak goreng dan sampai pada wacana perpanjangan masa Presiden 3 Priode.

“Artinya persoalan yang dihadapi pemerintah saat ini begitu kompleks, bahkan hemat saya bukan hanya kompleks tapi multi kompleks. Kondisi ini kita lihat memprihatinkan, namun dalam keprihatinan itu, media televisi justru tak bergeming alias tidak memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat. Seolah seperti ada hal-hal yang ditutup-tutupi dari kebijakan pemerintah. Padahal kita tau bahwa masyarakat sangat butuh informasi yang objektif, jelas, terang dan berimbang,” tegasnya.

Epza menambahkan informasi yang objektif dan berimbang ini sulit kita dapatkan sekarang dari televisi nasional, lebih-lebih terkait liputan protes masyarakat atau aksi unjuk rasa mahasiswa dalam menolak kebijakan pemerintah.

“Semuanya kita tahu bahwa seharusnya peran dan fungsi media itu sebagai “Wachdog” atau penjaga kebijakan pemerintah dan penyampai informasi. Jadi, kerja media bukan hanya memberitakan tentang keberhasilan pemerintah saja tapi juga kegagalan harus diberitakan. Pendek kata, yang diberitakan jangan hanya yang manis-manisnya saja, tapi yang pahitnya juga harus diberitakan,” imbuhnya.

Menurutnya media itu kokoh, independen, objektif dan merdeka, jauh dari intervensi kekuasaan.

“Dulu sebelum rezim yang sekarang, mulut televisi nasional itu sangat nyaring dan cepat dalam menyampaikan informasi atau kondisi faktual yang terjadi di tengah masyarakat. Sekarang sepertinya tumpul. Kayak patah taringnya. Ada apa ini?,” tutur Epza.

“Sepintas lalu kadang saya berpikir, apakah mulut para bos pertelevisian tanah air saat ini sedang disumpal, sehingga tidak lagi mampu mengeluarkan suara untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Istilah anak Medan pekak-pekak badak. Kupingnya pun sepertinya tersumbat, sehingga tidak lagi mampu mendengar serta merasakan jeritan atau penderitaan rakyat,” bebernya.

Dilanjutkannya, percuma ada UU No. 40/1999 tentang Pers, kalau fungsi media sebagai “Watcshdog” tidak berjalan. Biasanya yang diketahui pers itu mampu mengungkap fakta dan realita serta menyajikannya secara terang benderang ke ruang publik, misalnya orang bersembunyi dibalik tembok pun mampu diungkap, tapi sekarang orang berdiri dibalik tirai yang tembus pandang tak lagi tampak.

“Kira-kira siapa yang berani menyumpal mulut pemilik media? Kalau misalnya pengusaha, berarti kondisi saat ini lebih kelam dari kondisi sebelum orde reformasi. Kalau itu yang terjadi ini gak bisa dibiarkan, dong. Hemat saya semua pemilik media harus sadar, bangun dan bangkit dari tidur pulas. Saatnya media bersatu melawan jika ada intimidasi atau ancaman bredel dari penguasa, sebab Pers itu merdeka dan dilindungi oleh Undang-undang,” pungkasnya. (Sid)