MEDAN – Gerakan penolakan 7 nama anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Sumut, yang dipelopori oleh Valdez Junianto Nainggolan, Robinson Simbolon, T Prasetiyo, Topan Bilardo Marpaung, Tua Abel Sirait, Muhammad Lutfan, Edi Irawan, dan Viona Sekar Bayu segera menggugat persoalan SK petahana KPID Sumut versi Sekda ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Melalui kuasa hukum mereka, Ranto Sibarani SH, Kamis (24/2/2022) siang menyampaikan bahwa gugatan terhadap SK Perpanjangan yang terbit tanggal 12 Agustus 2019 dengan nomor surat 800/8211 telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang penyiaran dan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/07/2014 pada pasal 27 ayat 4.
Dalam regulasi itu disebutkan bahwa proses pemilihan dan penetapan anggota KPI pusat harus disahkan oleh Presiden melalui rekomendasi DPR, sementara KPI daerah ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan masukan dari DPRD Provinsi. Namun, dasar pengukuhan yang dipegang oleh petahana cenderung berbentuk surat dan ditujukan khusus kepada Ketua KPID Sumut saja.
“Surat yang dikeluarkan bukan surat keputusan, tetapi surat perpanjangan saja dan ditandatangani oleh Sekda (Provsu) Sabrina. Surat dengan nomor 800/8211 ditujukan dan untuk memperpanjang ketua KPID Sumut periode 2016-2019. Dalam surat itu pada poin delapan disebutkan juga bahwa saudara tetap bertugas sampai terpilih dan dilantiknya anggota KPID Sumut yang baru. Kata saudara dimaksud pada surat tersebut adalah ketua KPID Sumut bukan yang lain. Sebab surat itu ditujukan kepada ketua KPID Sumut. Artinya apa, hanya ketua KPID Sumut yang diperpanjang,” terang Ranto secara rinci.
Adanya surat perpanjangan tersebut memberikan keistimewaan kepada dua komisioner KPID Sumut periode 2016-2019 yakni M Syahrir dan Ramses Simanullang untuk mengikuti seleksi KPID Sumut periode 2021-2024, hanya pada uji kelayakan saja. Padahal, ada uji akademik, psikotes dan wawancara yang telah ditetapkan panitia harus diikuti seperti para peserta seleksi lainnya. Selain itu, surat sakti yang terjanyata tidak sah tersebut telah memberi akses bagi mereka untuk menghabiskan anggaran negara hingga miliaran rupiah.
“Pertanyaannya, apakah itu (surat perpanjangan) dasar hukum yang kuat untuk menggunakan anggaran negara miliaran rupiah. Apalagi dari awal ada statement Ketua Komisi A Hendro Susanto yang menyatakan SK mereka juga tidak sah. Ini sudah cukup bukti,” cecar Ranto, sembari meyakini bahwa persoalan ini akan memastikan seleksi komisioner KPID Sumut diulang kembali.
Terpisah, Komisioner KPID Sumut periode 2016-2019, M Syahrir yang dikonfirmasi wartawan via seluler terkait SK Perpanjangan yang diteken Sekda Provsu Sabrina menyatakan tidak masalah dan tidak ada yang salah. “SK itu tidak ada masalah. Artinya, memang sudah ada perpanjangan. Tidak ada pelanggaran, tidak ada kesalahan yang dilakukan. Karena, kita itu kan menjalankan amanah dari pemerintah provinsi (Pemprov Sumut) melalui Sekda (Sabrina), bukan kita mengarang-ngarang. Jadi, kalau prosedur itu dianggap salah harusnya dari dulu, jangan setelah proses seleksi, itu dipertanyakan,” ujarnya saat dihubungi
Syahrir juga menyatakan, terbitnya SK Perpanjangan tersebut melalui proses atau tahapan. “Mulai dari adanya pengajuan surat Komisi A DPRD Sumut hingga berlanjut dilakukan eksaminasi oleh Biro Hukum Pemprov Sumut dan barulah terbit surat itu,” tandasnya.(***)