๐Ÿ‘๏ธ Dilihat: 397.866 kali

 

 

 

LUWU UTARA โ€“ Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap dua guru SMAN 1 Luwu Utara, Drs. Rasnal, M.Pd dan Drs. Abd. Muis, menuai gelombang keprihatinan nasional. Pakar hukum Andar M. Situmorang, SH, MH menilai keputusan tersebut sebagai bentuk kesewenang-wenangan birokrasi dan bukti nyata lemahnya empati negara terhadap nasib guru.

 

Kisah bermula sekitar lima tahun lalu. Kala itu, sepuluh guru honorer di SMAN 1 Luwu Utara belum menerima gaji selama sepuluh bulan karena nama mereka tidak tercantum dalam database dapodik, sehingga tak bisa menerima honor dari dana BOS. Kepala sekolah kemudian menggelar rapat bersama komite dan para guru. Dari hasil musyawarah, disepakati pengumpulan dana sukarela Rp20.000 per orang tua murid, tanpa paksaan dan dengan pengecualian bagi yang tidak mampu.

 

Namun, inisiatif kemanusiaan itu berujung panjang setelah sebuah LSM melapor ke pihak kepolisian. Polisi menetapkan dua guru sebagai tersangka, meski pengadilan Tipikor Makassar kemudian memutus bebas karena tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

 

Ironinya, jaksa mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung memvonis satu tahun penjara bagi keduanya. Setelah menjalani hukuman, mereka kembali dijatuhi sanksi oleh birokrasiโ€”melalui keputusan PTDH dari Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan.

 

Menanggapi hal itu, Andar M. Situmorang menyatakan keprihatinan mendalam atas matinya nurani keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia.

โ€œIni adalah contoh nyata bagaimana hukum kehilangan arah dan nurani. Dua guru yang bertindak karena kemanusiaan justru dihukum seolah mereka koruptor besar. Negara seharusnya hadir melindungi, bukan menghancurkan martabat guru,โ€ tegas Andar, Rabu (5/11/2025).

 

Andar juga menyoroti lemahnya tanggung jawab pemerintah terhadap guru honorer yang kerap terabaikan dalam sistem kepegawaian.

ย โ€œKalau memang kebijakan kepala sekolah itu dianggap salah, maka yang lebih salah adalah negara yang membiarkan guru tak bergaji selama sepuluh bulan. Negara abai, tapi yang dikorbankan justru mereka yang menolong sesama,โ€ ujarnya.

 

Dua guru tersebut diketahui telah puluhan tahun mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Mereka tidak menikmati fasilitas negara, hanya bekerja dengan dedikasi dan rasa tanggung jawab terhadap murid.

 

Sementara itu, ribuan guru di Kabupaten Luwu Utara pada Senin lalu menggelar aksi damai di depan Kantor DPRD dan Kantor Bupati, menuntut pemerintah mencabut keputusan PTDH terhadap dua rekan mereka.

โ€œGuru juga manusia, mereka berhak dihormati, bukan dikorbankan oleh aturan kaku tanpa hati nurani,โ€ tutup Andar.

 

Kasus ini kini menjadi sorotan nasional dan memantik pertanyaan besar tentang arah kebijakan pendidikan di Indonesia: apakah masih berpihak pada guru dan kemanusiaan, atau telah dikuasai oleh mesin birokrasi yang beku dan tak berperasaan.